Sebelum Masuk ke Phoenix Framework kita mengenal dulu Elixir functional language, Elixir adalah bahasa pemrograman functional yang di build berdasarkan VM dari Erlang. Dan dibuat untuk memenuhi kebutuhan developing scalable system dan maintainable system.
Jika kamu ingin mengembangkan aplikasi yang selalu ada dan tersedia (high-availability), maka Elixir bisa menjadi pilihan yang bagus. Sebagai referensi, Erlang Virtual Machine masuk dalam nine nines reability yang membuat downtime-nya sangat rendah. Downtime-nya tidak sampai satu detik dalam setahun! Hampir tidak pernah crash. Sedari awal, Elixir dibangun dengan fitur toleran-kesalahan (fault-tolerance) yang memungkinkan menjalankan ulang proses yang mengalami kegagalan dalam ketika dijalankan. Setiap kode berjalan pada sebuah lightweight thread terisolasi yang disebut sebagai proses (process) dan berkomunikasi menggunakan pesan (messages). Resource: https://medium.com/phoenixir/kenapa-memilih-elixir-c628dabddc3b
Phoenix Framework digunakan sebagai Realtime Data comment App
Elixir memiliki Framework bernama Phoenix Framework untuk pengembangan Web, masih jarang yang menggunakan Phoenix Framework terutama di Indonesia namun Apabila anda mencari reability, Aplikasi Web Interaktif dengan less code, dan Real Time data. Maka Phoenix bisa menyajikan dengan sangat Baik.
Kelebihan yang diberikan Phoenix Framework:
1. Real Time
Interaksi dengan berbagai User yang dibuild dengan Phoenix dan tanpa ada kompleksitas untuk develop dari client side.
2. Di build dengan MVC yang rapi
MVC dibuld semudah mungkin dan dengan mudah untukdi maintainace.
3. Scalability
Phoenix menyediakan VM Erlang yang mana untuk membuat realtime data bisa dengan mudah tanpa harus menggunakan pihak ketiga.
Phoenix Web Framework untuk komunitas masih belum sebesar Bahar bahas pemrogramn yang lain, namun Framework ini memiliki feature dan modul yang lengkap dilihat dari segi framework. Silahakan Anda coba mempelajari Phoenix Framework ini nanti Anda akan menumakn dimana simplenya Phoenix Web Framework. Berikut Link Utama Phoenix Framework: Link
Setahun yang lalu, terjadi perubahan besar pada salah satu open source project favorit, DreamFactory. Pada versi setelah 2.14.2, developer DreamFactory menghapus dua fungsi yang paling populer digunakan oleh komunitas open source community, yaitu fungsi untuk menghubungkan DreamFactory dengan MySQL server dan fungsi untuk membuat script.
Dalam artikel ini saya tidak akan menceritakan permasalahan tersebut dengan panjang lebar. Bila tertarik untuk mengetahui akar permasalahannya, ada dapat membaca website berikut ini. Dalam artikel ini kita akan fokus tentang bagaimana mengatasi permasalahan tersebut dengan melakukan instalasi versi terdahulu dari DreamFactory sebelum terjadi perubahan tersebut, yaitu DreamFactory versi 2.14.2.
Server yang saya gunakan berbasis Linux Ubuntu 20.04 dengan web server NGINX, PHP, dan database MySQL. Sekarang mari kita bahas langkah-langkah instalasi DreamFactory.
Instalasi NGINX
Update apt repository dan lakukan instalasi NGINX dengan perintah
$ sudo apt update
$ sudo apt install nginx
Instalasi MySQL Server
Lakukan instalasi database server MySQL
$ sudo apt install mysql-server
Perintah ini optional, namun berguna untuk meningkatkan keamanan database server.
$ sudo mysql_secure_installation
Sekarang kita perlu membuat satu MySQL user untuk DreamFactory. Jalankan perintah berikut untuk membuat databasedf dengan userdf dan passwordrahasia.
$ sudo mysql
mysql> CREATE DATABASE df;
mysql> CREATE USER 'df'@'localhost' IDENTIFIED BY 'rahasia';
mysql> GRANT ALL PRIVILEGES ON df.* TO 'df'@'localhost';
mysql> FLUSH PRIVILEGES;
mysql> EXIT;
Instalasi PHP-FPM
Versi PHP yang kita gunakan adalah versi 7.2 karena versi ini yang telah saya coba dan berhasil digunakan untuk DreamFactory versi 2.14.2. Berikut langkah instalasi PHP-FPM.
Secara default, git client sudah terpasang pada Linux Ubuntu 20.04. Namun bila belum ada, maka lakukan instalasi dengan perintah
$ sudo apt install git
Konfigurasi NGINX
Kita perlu melakukan konfigurasi NGINX agar dapat digunakan sebagai web server untuk DreamFactory. Bukalah file /etc/nginx/sites-available/default lalu ubah konfigurasinya seperti pada contoh berikut
Sekarang masuk ke bagian inti dari tulisan ini, yaitu cara instalasi DreamFactory. Langkah pertama masuklah ke dalam root directory web server/var/www/html.
Dalam proses instalasi tersebut, Anda akan diminta memasukkan beberapa data seperti MySQL password, user, dll. Silahkan masukkan data yang diminta sesuai dengan proses instalasi yang telah kita lakukan sebelumnya.
Langkah terakhir adalah melakukan update file permission dengan perintah.
Proses instalasi selesai, sekarang anda dapat membuka hasil instalasi tersebut melalui web browser misalnya dengan alamat http://localhost atau sesuai dengan domain server Anda.
Bahasa Pemrograman Elm adalah Bahasa pemrograman fungsional untuk Frontend atau User Interface yang kaya akan fungsi Visualisasi yang bersifat Deklaratif. Elm dibuat untuk pengguna Web Apps dengan fungsionalitas untuk 3D Graphic dan Data Visualisation. Dilihat dari Fungsi dan kinerja Elm sangat berguna untuk membuat Game atau Game Dev berbasis Web Apps yang sangat Interaktif. Elm sendiri rilis versi stabilnya pada 21 Oktober 2019 Elm V 0.19 .1 namun pengguna sudah banyak. Sebelum lebih lanjut ke Elm tentunya kita harus tahu dasar dari Html dan CSS ya karena di Elm akan diintegrasikan dengan HTML dan CSS agar lebih cantik, tenang HTML dan CSS hanya pemanis karena Elm sendiri sudah Manis. Belajar Elm sangat mudah apabila Anda sudah memahami Pemrograman Dasar.
Beberapa kelebihan Elm Sebagai Berikut:
1. No Runtime Exceptions.
Elm menggunakan metode inferensi untuk mendeteksi error dan memberikan petunjuk yang jelas. Untuk lebih jelasnya silakah pelajari di link berikut : Detail
Berikut Contoh untuk Runtime Exception:
Pada saat Error akan muncul hints atau petunjuka yang jelas
2. Great Performance
Elm memiliki Virtual DOM sendiri yang di desain untuk kemudahan dan kecepatan. Semua funsional tidak bisa dirubah di Elm dan tolak ukur yang digunakan membuat code javascript yang cepat.
Perbandingan dengan beberapa Framework terkenal untuk frontend lain, semakin kecil semakin bagus
3. Enforced Sematic Versioning
Elm memiliki Package yang digunakan sesuai dengan kegunaan. berikut link untuk packeage: Detail
tau bisa menggunakan comandline seperti gambar berikut:
Command line untuk Install Package Elm
4. Small Assets
Dibandingkan dengan React, angular dan Vue Assets Elm lebih kecil sehingga otomatis load akan cepat, elm memiliki cara endiri untuk meminimalisir assets silahkan baca di link berikut: Detail
Perbedaan ukuran / Size Asset dibandingkan dengan Vue, Angular dan React
5. Javascript Interop
Elm dapat digunakan di suatu node yang aktif, dan dapat disisipkan di suatu project tanpa menggangu.
Elm Bisa disispkan di project dengan javascript
Bahasa Pemrogram Elm sering digunakan untuk Desain Grafis atau Game Dev. Berikut Contoh Penggunaan Bahasa Pemrograman silahkan Anda Explore :
NuAshworld – MMO RPG Game. A game in the vein of the (not playable anymore) Fallout-themed PBBG “Ashworld”. [play]
Bike-Wars – Tron clone. Bike Wars is a two-player local multiplayer game where each player controls a Light Bike (like the ones in Tron) and tries to survive the longest.
Mogee – Platformer game. A WebGL platformer that fits into 64x64px screen. [doc][play]
sonnym/scorched – Turn-based artillery game. A clone of Scorched Earth.
Dilihat dari Contoh diatas bermacam macam game berbasis Web yang menggunaan Bahasa pemrograman Elm, tidak hanya untuk Game tentunya juga digunakan untuk landing page dll untuk mempercantik Website. Apabila Anda tertarik dengan Elm silahkan untuk mempelajari langsung di portal Web nya : Link. Akan banyak sekali contoh yang bisa Anda gunakan untuk belajar lebih lanjut.
Performance adalah pilihan bagi pengguna framework, di artikel kali ini saya akan menyajikan beberapa pilihan yang mungkin bisa anda gunakan untuk menentukan framework yang akan anda gunakan.
Realworld adalah salah satu repository yang menyediakan perbandingan pengguna asli dari suatu framework. Realword sudah mendapat binta sebanya 45.2 K dan tentunya masih akan terus bertambah untuk meningkatkan performance sharing to sharing developer. Dari sini akan terlihat mana framework backend maupun frontend yang sering digunakan, juga tentunya bisa digunakan sebagai acuan untuk menentukan envorinment adalam suatu system.
Tentunya pengguna juga harus mengetahui patokan dalam menentukan ekosistem yang akan dibuat disni kita bandingkan adalah Framework.
1. Performance
Performance dilihat dari seberapa banyak orang atau End User menggunakan Aplikasi dan di build dari framework tertentu dan seberapa bagus feedback dari enduser.
Semakin Tinggi Semakin Bagus
Untuk nilai diatas 90 akan terasa perbedaan dengan yang dibawahnya.
2. Size
Transfer Size bisa di analitik menggunakan inspect element di browser dengan melihat Network dengan melihat GZIPed transfer response dan lama Deliver dari server.
Walaupun semakin banyak library yang digunakan bisa menjadi semakin lama load size nya, namun semakin baik coding maka seharunya library yang tidak berguna tidak boleh di load.
Semakin Kecil Semakin Bagus
Semakin kecil ukuran file maka semakin cepat download page.
Kesimpulan
Semakin kecil load file coding maka semakin cepat. Svelte menjadi nomor satu karena memiliki Langkah yang keren load tanpa virtual DOM jadi sangat cepat
3. Line Code
Lone Code menunjukkan betapa ringkasnya library / framework / bahasa yang diberikan. Berapa banyak baris kode yang Anda perlukan untuk diterapkan di aplikasi yang sama.
Semakin Kecil Semakin Bagus
Kesimpulan
Pada dasarnya semua framework bagus, namun didunia kerja kecepatan pengerjaan sangat menentukan. Jadi adanya framework sangatlah membantu, beberapa refrensi diatas saya harap bisa membantu anda para pembaca agar lebih eksplor lagi dan belajar lagi sehingga bisa mengatahui framework terbaik apa yang cocok untuk system Anda.
Otentikasi pasti digunakan di aplikasi berbasis Web, membuat otentikasi harus ada fungsi sendiri untuk login. di artikel ini akan saya kenalkan otentikasi praktis dengan menggunaan Passport JS. tentunya sebelum lebih dalam silakan pelajari Node JS dan Express JS terlebih dahulu untuk menggunakan Passport JS. Passport JS di GIT sudah mendapatkan 17 Ribu lebih bintang dan sudah digunakan banyak devloper, tentunya sudah sangat stabil unutuk digunakan dalam sebuah projek atau produk baru.
Apa itu Passport JS?
Passport JS adalah otentikasi middleware untuk Node.js. Sangat fleksibel dan modular, Passport dapat dengan mudah digunakan untuk aplikasi web berbasis framework Express JS. Seperangkat strategi komprehensif mendukung otentikasi menggunakan Username dan Password, Facebook, Twitter, dan lainnya.
Security Token dengan JSON Web Token (JWT)
JSON Web Token (JWT) adalah sebuah token berbentuk string panjang yang sangat random yang gunanya sendiri untuk melakukan sistem Autentikasi dan Pertukaran Informasi. Umumnya untuk melakukan login tidak seperti pada aplikasi website biasa dimana kita menggunakan session untuk mengingat siapa yang sedang Login. untuk informasi lebih lengkapnya silakan kunjungi link berikut jwt.io.
Ada banyak modul yangbisa digunakan untuk Otentikasi di Passport JS namun yang akan kita bahas kali ini hanya modul yang paling banyak digunakan.
1. Modul Otentikasi Local
Modul otentikasi Local adalah mekanisme yang sering digunakan yaitu dengan Username dan Password.
Berikut cara menggunakannya:
Install
$ npm install passport-local
Konfigurasi
var passport = require('passport') , LocalStrategy = require('passport-local').Strategy;
Setting redirect apabila sukes maka successRedirect,apabila gagal login maka failureRedirect, dana apabila error flash maka set flashfailure ke true.
2. Modul Otentikasi OpenID
OpenID adalah standar otentikasi gabungan dengan seubah situs website. Saat mengunjungi situs web, pengguna bisa menggabungkan cara login dengan OpenID mereka untuk login. Pengguna kemudian mengautentikasi dengan penyedia OpenID yang mereka pilih, yang mengeluarkan pernyataan atau izin untuk mengonfirmasi identitas pengguna. Situs web akan memverifikasi pernyataan ini untuk login user.
Install
$ npm install passport-openid
Konfigurasi
Ada 2 parameter di OpenID yang harus dipahami yaitu reuturnURL dan realm. returnURL adalah URL yang akan diarahkan dari provider OpenID dan digunaan untuk otentikasi. Realm adalah redirect dari website kia sendiri apabila success untuk login menggunakan OpenID.
var passport = require('passport') , OpenIDStrategy = require('passport-openid').Strategy;
Parameter Identifier adalah indentifikasi apakah user memberi izin untuk informasi diri digunakana untuk webtie yang digunakan untuk login.
Form
Form yang digunakan untuk OpenID dan login di web page. <form action="/auth/openid" method="post"> <div> <label>OpenID:</label> <input type="text" name="openid_identifier"/><br/> </div> <div> <input type="submit" value="Sign In"/> </div> </form>
Route
Route untuk OpenID ada 2 yaitu untuk cek OpenID dari provider dan untuk redirect OpenID login dengan web route dari website yang ingin kita untuk login.
// Accept the OpenID identifier and redirect the user to their OpenID // provider for authentication. When complete, the provider will redirect // the user back to the application at: // /auth/openid/return app.post('/auth/openid', passport.authenticate('openid'));
// The OpenID provider has redirected the user back to the application. // Finish the authentication process by verifying the assertion. If valid, // the user will be logged in. Otherwise, authentication has failed. app.get('/auth/openid/return', passport.authenticate('openid', { successRedirect: '/', failureRedirect: '/login' }));
Profile Exchange
OpenID menyediakan profile exchange dimana website provider bisa menyediakan profile pengguna untuk website lain. Profile exchange bisa diaktifkan dengan sett parameter ptofile ke true.
Oauth adalah protocol authorize yang digunakan untuk akses API dari pihak ketiga yang bisa digunakan untuk login di berbagai platrform. Untuk lebih lengkap silakan pelajari di https://oauth.net/.
Install
$ npm install passport-oauth
Konfigurasi
Dalam Oauth terdapat informasi yang harus dipenuhi diantaranya token, accessToken, authorize, key, secret, dan callback. Tentunya Oath juga bisa berbagi User Profile sesuai dengan izin dair provider dengan mengakifkan parameter profile.
var passport = require('passport') , OAuthStrategy = require('passport-oauth').OAuthStrategy;
Route untuk Oauth ada 2 yaitu untuk Provider dan untuk websisete pengguna Oauth. Yang pertama untuk trasaksi denga provider sendangkan yang kedua untuk menyediakan data untuk website pengguna Oauth.
// Redirect the user to the OAuth provider for authentication. When // complete, the provider will redirect the user back to the application at // /auth/provider/callback app.get('/auth/provider', passport.authenticate('provider'));
// The OAuth provider has redirected the user back to the application. // Finish the authentication process by attempting to obtain an access // token. If authorization was granted, the user will be logged in. // Otherwise, authentication has failed. app.get('/auth/provider/callback', passport.authenticate('provider', { successRedirect: '/', failureRedirect: '/login' }));
Link Oauth.
Di web page harus ada button utuk proses Oauth berikut contoh link yang bisa digunakan:
<a href="/auth/provider">Log In with OAuth Provider</a>
Kesimpulan
Masih banyak modul atau srategi yang bis digunakan Passport JS diantaranya yang banyak digunakan ada alah: Modul Otentikasi Oauth 2.0, Modul Otentikasi Oauth Profile FB, Modul Otentikasi Oauth Twitter dan Modul Otentikasi Oauth Google. Otentikasi dapat digunakan secara praktis dan tentunya aman dan juga pengerjaan akn lebih cepat dengan adanya modul Otentikasi yang mudah dimengerti. untuk mempelajari lebih dalam lagi silakan explore Jode JS, Express JS dan Passport JS.
Berikut Link untuk belajar Pasport JS: Klik Disini
AutoMapper adalah object to object mapper yang memetakan obyek A menjadi obyek B yang memiliki properti dan tipe yang berbeda. Seperti contoh kita perlu melakukan pemetaan Data Transfer Object ke object model. AutoMapper memudahkan proses pemetaan konvensional yang harus memetakan secara manual satu per satu.
Untuk menggunakan AutoMapper pada ASP .Net Core 3.1 terlebih dahulu harus menginstal AutoMapper melalui NuGet atau command pada NuGet Package Manager seperti ini.
Salah satu integrasi Open Stack yang pernah saya buat ada dengan CRM (Customer Relationship Management) dimana Openstack mengatur Cloud Computing yang berhubungan dengan penjualan atau yang sering disebut dengan Cloud VPS, Cloud Hosting, Rack location dan RackSpace, integrasi ini saya buat dalam bentuk Admin Dashboard yang bisa digunakan untuk mengatur Cloud Computing dan Penjualan. Open stack memiliki fitur yang lengkap untuk semua kebutuhan IAAS.
Gambaran Service dari OpenStack
Apa itu OpenStack?
OpenStack merupakan project open source untuk platform cloud computing. sebagian besar digunakan sebagai Infrastructure as a Service (IaaS), di mana server virtual dan sumber daya lain tersedia untuk pelanggan.Platform perangkat lunak terdiri dari komponen-komponen yang saling terkait yang mengendalikan beragam perangkat keras multi-vendor yang meliputi pengolahan, penyimpanan dan sumber daya jaringan di seluruh data center. Pengguna dapat mengelolanya melalui dasbor berbasis web, hingga command-line tools, atau REST layanan web (wikipedia).
OpenStack menyediakan solusi IaaS (Infrastructure ad a Service) dengan berbagai layanan yang berhubungan. Masing-masing layanan/service menyediakan API (Application Programming Interface) yang memfasilitasi integrasi. Layanan-layanan atau service-service ini dapat kita instal sesuai kebutuhan kita. Dimana API ini bisa digunakan untuk integrasi sesuai kebutuhan Anda, saya pernah membuat untuk kebutuhan CRM.
Service di Arsitektur OpenStack sebagai Berikut:
Dashboard / Horizon
Dashboard menyediakan tampilan web yang berinteraksi dengan layanan OpenStack seperti meluncurkan instance, memberikan IP address dan mengkonfigurasi akses control untuk Nova, Neutron, Swift dll.
Compute / Nova
Compute/ Nva menyediakan manajemen instan dari Compute yang ada pada lingkungan OpenStack sebagai contoh Compute di Virtual Server. Nova / Compute memiliki fitur untuk managemen dalam Virtual Machine, baremetal servers dan system contaners. Nova / Compute adalah daemon yang berjalan di linux server.
Networking / Neutron
Neoutorn memiliki fungsi untuk mempermudah kita memahami layanan Networking sebagai layanan yang membuat jaringan secara virtual tentunya. Memiliki plugin yang mendukung berbagai jaringan dari vendor dan teknologi.
Object Storage / Swift
Swift Pada Object storage ini akan menympan dan menambil object data melalui RESTful, API berbasis HTTP.
Block Storage / Cinder
Cinder sebagai Object Storage menyediakan persistent block storage untuk menjalankan instance. Kita dapat melakukan manajemen block storage devices.
Identity service / Keystone
Keystone menyediakan manajemen otorisasi layanan.
Image service / Glance
Glance adalah untuk pengelolaan image terutama untuk menyimpan dan meluncurkan VM disk images. OpenStack compute menggunakan hal ini selama provision.
Telemetry / Ceilometer
Ceilometer akan memantau billing, benchmarking, scalability dan tujuan statistik.
Orchestration / Heat
Heat berfungsi untuk menggabungkan beberapa aplikasi cloud.
Database service / Trove
Trove Meydiakan layanan Cloud database-as-a-Service.
Data processing service
Menyediakan kemampuan provision untuk Hadoop clusters.
Kesimpulan
OpenStack adalah open source yang memili resource yan besar sehingga bisa digunakan stakeholder untuk membangun usaha atau bisnis maupun hanya untuk IOT. Namun apabila penggunaannya sebagai bisnis maka akan berguna , bayangkan apabila harus secara manual atau hanya dalam bentuk Insfrastruktur tanpa Service instan dari Open Stack, akan sangat merepotkan. Pada inti nya dengan Open Stack semua Insfrastruktur bisa tertata dan semua service bisa dijalankan dengan cepat dan Mudah. Untuk belajar lebih dalam silahkan dipijak disini.
GraphQl adalah query pemrosesan data untuk memanipulasi API. GraphQl dikembangkan secara internal oleh Facebook pada tahun 2012 dan di publikasikan pada tahun 2015 namun untuk rilis stabilnya pada tahun 2018. GraphQl memiliki posisi diantara Client dan Server dimana menjembatani aliran data. GraphQl hamper sama seperti REST dimana ada proses CRUD bedanya GraphQl ini memerlukan skema untuk proses fetching data yang diinginkan sehingga tidak ada proses berulang dari client dan server. Salah satu tujuan pengembangan bahasa query ini adalah untuk mempermudah komunikasi data antara server dan Client.
Alur poses penggunaan Schema GraphQl
GraphQl dapat diimplementasikan di berbagai bahasa sisi client seperti react, vue, svelte dll. Apapun jenis framework nya selama dapat mengakses data dengan API. dan karena GraphQl ini hanya penerjemah (query language) dan runtime saja maka tidak tergantung pada bahasa pemograman sisi server dan database apapun.
Kegunaa Utama?
Pandangan alur proses data di GraphQl
1. Handle untuk Permintaan Ganda.
GraphQl memiliki proses dimana fetching data setelah diproses dari server maka akan dimanipulasi lagi sehingga smeua yang client butuhkan bisa didapatkan. proses berulang seperti di REST tidak akan terjadi karena data yang diinginkan sudah diload oleh GraphQl dan hanya perlu mengambil ulang dari schema yang di buat GraphQl.
2. Efisiensi Data dan Konsistensi.
Asumsinya kita semua sudah mengenal REST endpoint jadi tidak perlu dijelaskan apa itu REST. Setiap endpoint mewakili satu entitas dan memiliki beberapa metode seperti GET, POST, PUT dan DELETE. Ketika mengakses endpoint dengan metode GET akan menampilkan data dari entitas tersebut. Data yang ditampilkan bersifat tetap, maksudnya kita akan menerima semua data meskipun kita tidak membutuhkan data itu. Konsistensi data karena data kita sendiri yang atur atau yg menjembatani antara API yang ada dengan data yang akan kita berikan ke client.
Seklias penggunaan GraphQl untuk Argument
Argument Pada saat fetching data menggunakan GraphQl
Argument ini menunjukan get data dari API akan dioleh oleh query GraphQl sesuai dengan kebutuhan client sehingga tidak semua data dari API akan muncul di Client. Untuk lebih jelasnya silahkan bermeditasi disini: graphql
Perbedaan dengan graphQl dengan REST API
Pada dasarnya GraphQl dan REST API tidak terlalu berbeda namun sesuai dengan penggunaannya, GraphQl digunakan untuk data yang besar dimana didapat API dari pihak ketiga yang kemudian akan di deliver ke client sedangkan REST API proses data yang diingin kan sudah disiapkan oleh programmernya sehingga telihat pakem.
Kesimpulan
GraphQl memiliki efisiensi, konsistensi dan kemapampuna untuk handle data yang ganda. GraphQl dibutuhkan pada saat data dari sebuah aplikasi semakin besar dan dari segi development akan sangat lama apabila menggunakan RESTful API langsung ke client, jadi GraphQl akan memilah data mana saja yang akan tampil dan digunakan oleh client. Meski bitupun GraphQl bisa digunakan di aplikasi dengan skala kecil.
Beberapa waktu belakangan, kolaborasi designer – developer masih terasa individualistis. Contohnya bisa dilihat pada proses kerja mereka yang dimulai dari seorang designer (fase perancangan design hingga design selesai dalam bentuk mockup dan prototype), lalu design disimpan pada file lokal dan selanjutnya adalah tugas developer untuk melakukan review. Setelah mereview, barulah developer mengimplementasi design ke dalam bentuk kode. Apabila workflow semacam ini masih dilakukan, tentu berpeluang membuahkan hasil yang kurang optimal. Beberapa kekurangannya antara lain terjadinya miskomunikasi, tidak efektif dan efisien-nya kolaborasi, dan yang paling disayangkan adalah tidak beradaptasi menggunakan tools yang membantu kolaborasi antara designer – developer seperti XD, Figma, atau Sketch. Mengingat beberapa tools tersebut gratis.
Padahal hakikatnya designer dan developer adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan pada era saat ini. Keterikatan tersebut bisa dibina mulai dari tahap perancangan design hingga selesainya sebuah system atau aplikasi. Jadi mindset kita pada artikel kali ini adalah bagaimana membuat kolaborasi antara designer – developer menjadi satu kesatuan, bukan tim yang terpisah. Dalam implementasinya, memang ada hal-hal yang patut diperhatikan supaya job description kedua pihak tersebut tidak tumpang tindih. Jika tidak ada batasan yang jelas, aspek yang tumpang tindih bisa mengakibatkan developer berpikir sebagai designer dan begitupun sebaliknya. Pada artikel ini akan dibahas mengenai beberapa saran agar kolaborasi designer – developer bisa lebih optimal dan menjadi satu kesatuan namun dibatasi dengan batasan yang jelas.
Perbedaan Designer dan Developer
Sebenarnya designer dan developer memliki beberapa perbedaan yang jelas. Designer bisa diibaratkan sebagai arsitek dan developer adalah konstruktornya. Sehingga seorang designer harus melihat sesuatu secara menyeluruh. Sedangkan developer akan lebih nyaman untuk melakukan breakdown task menjadi beberapa langkah kecil dan membuat sesuatu secara cepat.
Ketika membicarakan perbedaan antara designer dan developer, maka kita juga perlu mengetahui proses berpikir mereka. Terdapat dua proses berpikir yang kita bahas disini yaitu empathize dan systemize. Kebanyakan developer berpikir secara systemize daripada empathize. Mereka mengandalkan logika di atas segalanya sehingga jarang kita dapati sisi emosional yang dominan seorang developer. Berbanding terbalik dengan developer, designer memiliki pola pikir empathize yang lebih mengandalkan perasaan dan emosi sehingga mentrigger kreatifitas pada otak kanan mereka.
Fokus dari kedua pihak pun berbeda, developer lebih berfokus kepada sistem sedangkan designer lebih berfokus ke end user. Kedua pihak tersebut harus berkomunikasi sedari awal fase perancangan dan mengenal satu sama lain sehingga bisa berkolaborasi secara terpadu. Ibarat otak manusia, ada otak kanan dan kiri. Inilah yang saya maksud dengan satu kesatuan karena manusia tidak akan bisa menjalankan hasrat hidupnya hanya menggunakan otak kiri saja atau otak kanan saja melainkan harus saling melengkapi, sama hal-nya dengan kesatuan designer – developer.
Bagaimana Caranya?
Key Discussion
Pertama-tama sebelum designer memulai fase perancangan design dengan tools XD, Figma, atau Sketch, bertanyalah kepada developer beberapa pertanyaan kunci.
Tools Apa yang Digunakan?
Tools seperti XD, Figma memiliki fitur yang memudahkan kolaborasi antara designer dengan developer. Ketika developer memilihi hak akses untuk melihat keseluruhan design beserta assetnya, maka designer bisa mengecek sedari awal kira-kira seperti apakah design yang akan diimplementasikan, memberikan komen, dan menyatukan persepsi antara designer dengan developer secara lebih mudah. Sehingga feedback bisa langsung diberikan oleh developer sebelum designer mengimplementasikannya lebih jauh.
Cobalah untuk mendiskusikan tools apa yang terbaik menyesuaikan dengan jenis project, preferensi tim, hingga preferensi perusahaan. Tools ini bisa disebut juga sebagai asset management yang memudahkan developer untuk mengakses sekaligus mengekspor assets pada layout yang telah di design oleh designer secara mandiri. Sehingga tidak ada lagi yang namanya developer meminta asset kepada designer. Semua sudah tersedia di satu tempat yang sama dan lebih terorganisir.
Apakah Framework / Library yang Digunakan?
Penting sekali untuk menanyakan hal ini karena designer bisa menyesuaikan asset, icon, komponen, hingga grid supaya sesuai dengan apa yang akan diimplementasikan developer dan tidak memiliki gap yang terlalu jauh. Menjadi tidak baik apabila designer mementingkan ego untuk memberikan design dengan kompleksitas yang tinggi dan tidak memungkinkan untuk didevelop. Contohnya ketika mendesign untuk aplikasi android, maka designer alangkah lebih baik untuk memahami komponen yang digunakan dalam material design. Sama hal-nya ketika web developer mendevelop web dengan bootstrap 4, mau tidak mau, designer juga harus menyesuaikan design dengan guideline yang ada di bootstrap.
Fase Design Seharusnya Tidak Pernah Selesai
Terdapat miskonsepsi yang umum terjadi bahwa ketika designer selesai melakukan tugasnya (mendesign screen keseluruhan mockup serta prototype-nya), maka mereka merasa bahwa kerja mereka telah selesai. Konsep seperti ini sering ditemukan pada projek bertipe waterfall, bahkan pada beberapa project agile sekalipun. Sebenarnya ketika designer selesai mendesign mockup atau prototype, pekerjaan designer baru selesai setengahnya. Karena ketika design sampai di tangan developer, fokus tidak lagi berpusat pada screen tetapi lebih spesifik ke fitur. Fitur dikembangkan behind the screen sehingga beberapa perubahan akan sering terjadi. Maka designer harus bisa stand by kapan saja apabila sewaktu-waktu ada developer yang membutuhkan bantuan designer untuk menyesuaikan design-nya kembali.
Perlu diingat bahwa kerja designer adalah menyeluruh. Pekerjaan designer tidak boleh terbatas pada visual yang mengandung nilai estetik saja. Namun juga mencakup bagaimana keseluruhan sistem bisa mudah digunakan oleh user. Maka dari itu, designer juga sedikit banyak ikut bertanggung jawab pada produk final yang telah diimplementasikan oleh developer.
Membuat Guideline yang Memudahkan Developer
Developer sangat dominan menggunakan otak kiri. Maka dari itu, ketika design sudah di depan mata, tidak semua developer bisa menerjemahkan visual design ke dalam bentuk code. Ada beberapa developer yang mengerti komposisi design dan nilai estetik, ada pula developer yang kurang memahaminya. Maka designer harus lebih aware dalam hal ini. Setiap fase design yang dilakukan, jangan lupa membuat guidance yang simple namun mencakup keseluruhan aspek design. Guideline itu bisa mencakup palet warna, ukuran margin padding, white space, typeface dan font size, dan lain-lain. Biasanya developer tidak memberikan feedback apapun setelah melihat design guideline dari kita. Mereka mengaku paham mengenai guideline namun pegakuan ini seringkali bertolak belakang dengan yang diharapkan designer. Maka dari itu, kedua pihak harus saling supportive dan terbuka mengenai persepsi mereka masing-masing.
Akses ke Code Base
Mungkin banyak developer tidak setuju dan mempertanyakan untuk apa memberikan akses code kepada designer? Namun hal ini ternyata efektif dan solutif untuk menjawab masalah yang timbul ketika kolaborasi antara designer dan developer tidak berjalan lancar. Pada satu titik, kolaborasi tim ini memungkinkan untuk terjadi bottleneck dan muncul rasa ketidakpercayaan satu sama lain. Namun ketika designer memiliki akses kode, terjadi perubahan drastis yaitu munculnya rasa supportive dan kepercayaan.
Terdapat pro dan kontra di komunitas designer maupun developer mengenai designer yang memiliki akses code. Tetapi realitanya, sangat susah untuk mendapatkan chemistry untuk kolaborasi ketika ada tembok raksasa, tidak terlihat, dan hanya bisa di akses oleh satu pihak saja. Sehingga muncul istilah baru yang mengkombinasikan design dengan programming, yaitu fullstack design.
Ketika seorang designer dipercaya untuk mengakses kode program, berarti designer tersebut sudah memenuhi kriteria sebagai fullstack designer. Seorang fullstack designer harus memiliki pengetahuan dasar tentang git, git hub, dan penullisan kode khususnya di bagian client side.
Kembali lagi pada pokok permasalahan yaitu harus ada batasan pembagian jobdesc serta peraturan yang disetujui antara developer – designer supaya pekerjaan tidak tumpang tindih atau malah simpang siur karena cara ini bukanlah best practice yang bisa diimplementasikan pada mayoritas perusahaan.
Mempelajari “Bahasa” Satu Sama Lain
Jika penjelasan sebelumnya lebih spesifik ke fullstack design, pembahasan kali ini akan mencakup developer – designer secara umum. Mempelajari “bahasa” satu sama lain bukan berarti designer harus bisa menulis kode atau developer harus bisa mendesign sesuatu. Yang dimaksud “bahasa” disini adalah istilah yang berkenaan dengan bidang ilmu masing masing. Kenapa harus mengerti “bahasa” satu sama lain? Karena ada istilah-istilah yang tidak mungkin diperjelas secara panjang lebar dan diterjemahkan menjadi bahasa orang awam karena kemungkinan besar justru mengakibatkan salah persepsi. Katakanlah seorang developer menanyakan “Kenapa fontsize-nya berubah-ubah?” Maka designer bisa menjawab “Karena dengan penggunaan fontsize dan weight yang berbeda, bisa membuat visual hierarchy yang baik sehingga meningkatkan usability”. Jika developer mengerti istilah yang dimaksud designer begitupun sebaliknya, akan sangat menguntungkan kedua pihak dari segi apapun.
Kesimpulan
Tidak ada cara yang selalu cocok dengan kondisi kolaborasi apapun. Hal itu kembali lagi dengan karakteristik masing-masing tim. Ketika satu sama lain saling memahami kebutuhan dan kondisi, barulah bisa mengaplikasikan beberapa cara yang disarankan di atas. Saran dari saya sendiri, mulailah pilih salah satu cara di atas, dan aplikasikan sesuai dengan kondisi kolaborasi tim. Jika memungkinkan, temukan beberapa orang dalam tim yang memiliki visi serupa untuk mewujudkan lingkungan kerja yang kolaboratif antara designer –developer. Buatlah tim kecil, berdiskusi sambil minum kopi dengan membahas mengenai apa yang harus dan tidak dilakukan demi kolaborasi yang lebih baik. Pada akhirnya, catat progress dari cara yang sudah disepakati sehingga Anda dan tim bisa mengukur dan melihat dengan harapan bahwa cara tersebut membawa dampak baik dan tidak lupa untuk terus mengevaluasinya.
Saat ini, Neumorphism menjadi style design yang digandrungi oleh komunitas designer dan banyak ditemukan pada Dribbble, Behance, Instagram dan forum-forum lain. Neumorphism merupakan turunan dari skeumorphism. Untuk lebih mudah membedakannya, skeumorphism merupakan istilah yang digunakan pada user interface untuk membuat suatu komponen layaknya komponen real di dunia nyata. Salah satu contoh pengaplikasian skeumorphism adalah pada icon shortcut recycle bin di OS windows. Skeumorphism pertama diimplementasi pada era awal smartphone touchscreen yang diperkenalkan oleh Apple iOS. iOS sangat mengerti bahwa dengan mengaplikasikan skeumorphism, user yang awal mulnya tidak paham bagaimana cara kerja touchscreen, bisa beradaptasi lebih cepat. Contohnya button dengan efek glossy, foto dengan border putih seperti foto real di dunia nyata, dan masih banyak lagi. Design ini lalu dengan cepat menyebar sehingga tidak luput diaplikasikan pada platform lain.
Skeumorphism VS Flat Design
Untuk saat ini, sudah sangat jarang ditemukan design dengan style skeumorphism karena hampir seluruh manusia di dunia sudah mengenal media digital mulai dari smartphone hingga desktop. Maka, penggunaan skeumorphism yang terlalu banyak detail, akan menjadi useless karena user sudah bisa menginterpretasikan suatu komponen dengan cepat meskipun tidak menyerupai komponen di dunia nyata. Ketika mendekati perilisan iOS7, Apple mengumumkan bahwa mereka akan meninggalkan style tradisional (Skeumorphism) dan beralih ke style yang lebih simple yaitu flat design. Saat ini, hampir semua platform mengimplementasi flat design. Namun dalam beberapa waku belakangan (2018-2019), flat design murni juga sepertinya mengalami dark period seiring berumunculan flat design yang dikembangkan dengan gaya flat illustratif.
Neumorphism lahir dari hasil kombinasi antara skeumorphism dengan flat design. Sehingga menghasilkan design yang 3D, bertekstur namun tetap soft dan simple. Output seperti itu bisa dihasilkan dengan racikan yang tepat atas bentuk, gradien, warna background, highlights, dan permainan shadow. Secara kasat mata, mungkin Anda berpikir bahwa Anda memerlukan aplikasi 3D rendering. Tetapi sebenarnya Anda hanya perlu aplikasi design standar yang biasa Anda gunakan seperti XD, Figma, Sketch dan sejenisnya dengan sedikit sentuhan “magis” dalam pembuatannya.
Anda bisa melihat panduan di bawah untuk membuat design neumorphism.
Mendesign Style Neumorphism
Panduan untuk Designer
Pada panduan kali ini, saya memberikan contoh bagaimana membuat design neumorphism secara simple menggunakan Adobe XD.
Popping Up
Disini, Anda akan membuat efek timbul neumorphism. Pertama-tama, Anda harus memilih warna yang smooth (biasanya saturasi rendah). Lalu implementasikan warna tersebut di artboard anda.
Hex color yang saya gunakan
Setelah itu, buat square shape dengan ukuran bebas. Dalam contoh saya, saya menggunakan ukuran 100px X 100px. Set warna menyamakan dengan warna background. Lalu berilah efek black shadow dengan X=6, Y=6, B=10 dan opacity 20%. Anda bisa mengatur shadow sesuai dengan preferensi Anda.
Atribut Black Shadow
Square dengan Black Shadow
Buat lagi square shape dengan ukuran yang sama, namun berilah efek white shadow dengan X=-6, Y=-6, B=10 dan opacity 80%.
Atribut White Shadow
Square Ke-dua dengan White Shadow
Gabungkan kedua square secara tumpang tindih. Berikut adalah hasilnya.
Hasil Popping Up Square
Popping Down
Disini, Anda akan membuat efek rongga (ketika di tekan) neumorphism. Pertama-tama, buat square bernama layer “dark” dengan ukuran yang sama seperti cara sebelumnya. Set fill color transparent, border black, object blur seperti gambar di bawah.
Atribut Square Dark
Hasil Square Dark
Buat square ke-dua bernama layer “light” dengan ukuran yang sama. Set fill color transparent, border white, object blur seperti gambar di bawah.
Atribut Square Light
Hasil Square Light
Lalu buat square ke-tiga bernama layer “mask” dengan ukuran yang sama. Set atribut fill color transparent dan border dengan warna mencolok.
Square “Mask”
Lalu posisikan ketiga square tersebut secara tumpang tindih dengan susunan layer dari atas ke bawah: mask – light – dark.
Susunan Layer
Ketiga Square Tumpang Tindih
Ubah ukuran square dark menjadi 120px X 120px dan geser beberapa pixel ke kanan dan ke bawah. Ubah pula ukuran square light menjadi 120px X 120px dan geser beberapa pixel ke kiri dan ke atas. Usahakan efek blur dari kedua square tersebut masih tercakup di dalam square mask.
Posisi Setelah Ukuran Square Dark dan Light Dirubah
Langkah terakhir, select ketiga object tersebut, klik kanan > Mask With Shape. Dan jadilah efek rongga (popping down) neumorphism.
Hasil Popping Down Square
Implementasi Neumorphism
Setiap design memiliki sisi baik dan buruknya. Sisi baiknya, neumorphism bisa memberi nuansa yang baru, fresh, dan terasa unik. Ketika dilihat oleh mata, membuat siapapun usernya ingin untuk memainkan komponen yang ada (termasuk saya) sehingga unsur gamification secara tidak langsung bisa dirasakan. Yang jadi pertanyaan adalah, mengapa saat ini kita masih belum melihat aktivitas masif implementasi neumorphism ini pada produk real? Meskipun neumorphism membawa efek visual yang bagus, ternyata mengandung kelemahan yang krusial yaitu usability.
Usability yang diusung oleh neumorphism sangat bergantung pada niche tertentu. Margin warna yang sangat kecil dan kontras membuat neumorphisme bekerja dengan tingkat saturasi yang rendah. Ditambah juga terlalu banyak shadow dan textur membuatnya tidak cocok untuk aplikasi yang tergolong kompleks. Sehingga ketika diaplikasikan pada contohnya, aplikasi bisnis, mengharuskan nuansa formal dan neumorphism gagal diimplementasi. Sepertinya neumorphisme hanya cocok untuk beberapa aplikasi yang memiliki idealisme yang berhubungan dengan kreatifitas, out of the box, dan simplicity.
Beberapa Issue
Button (tombol) adalah salah satu komponen terpenting dalam user interface. Tanpa adanya button, user akan kesulitan untuk melakukan aksi trigger aktivitas dalam aplikasi. Maka dari itu, suatu button harus terlihat mencolok dan mengandung sedikiti interaksi untuk memberitahu user perubahan status dari suatu button. Meskipun hanya sepersekian detik, perubahan status dan warna sangat krusial karena bersifat komunikatif kepada user. Ketika button menggunakan style neumorphisme, sulit untuk memberi perubahan status pada button karena terhalang dengan margin tipis dalam efek bayangan. Beberapa designer mencoba menjawab permasalahan dengan tetap memberikan style neumorphism hanya pada cards namun mengunakan tombol classic tanpa sentuhan neumorphism.
Neumorphism Button
Hal ini berlaku pula dengan prinsip CTA (Call to action). Sebagaimana diketahui, bahwa CTA harus mengandung warna yang mencolok sehingga mempersuasi user untuk menekan button tersebut. Dengan neumorphism, lagi-lagi ada batasan warna sehingga user tidak bisa menemukan CTA dengan mudah.
Contoh Implementasi CTA pada Neumorphism
Issue berikutnya berhubugan dengan aksesibilitas. Melanjutkan perihal implementasi neumorphism yang bergantung dengan niche, neumorphism menyulitkan beberapa pengguna yang memiliki gangguan penglihatan khsusunya pada beberapa orang dewasa dan telah berumur. Neumorphisme adalah tentang UI yang lembut tetapi jika digunakan secara berlebihan, membuat user mudah untuk terdistraksi. Ditambah lagi apabila user menggunakan layar kualitas rendah sehingga menghilangkan detail dari neumorphism itu sendiri.
Beberapa Pihak Tidak Setuju dengan Neumorphism
Kesimpulan
Komunitas pada Dribbble, instagram, medium, hingga reddit, beberapa menganggap bahwa neumorphism adalah pengganti flat design. Hal tersebut tidak sepenuhnya benar, karena lebih tepatnya adalah design yang bersifat tambahan saja. Sama seperti halnya trend gradient yang terjadi beberapa waktu belakangan. Banyak yang bereaksi dan menggadang-gadang bahwa gradient akan menggantikan flat design. Katika gradient diimplementasi sedemikian rupa dan diterapkan untuk mengcover seluruh layar, ternyata hasilnya sangat buruk. Pada akhirnya, gradient hanya sebagai pelengkap dan perfectly fits pada UI design yang spesifik pada beberapa komponen saja.
Gelombang neumorphism untuk saat ini masih fase permulaan. Komunitas designer terus bereksperimen untuk menghasilkan neumorphism yang benar-benar bisa cocok diaplikasikan pada real produk. Sebagai designer, Anda bisa ikut berkontribusi melakukan eksperimen. Sebagai non designer khususnya developer, tetap ikuti dan amati trend neumorphism ini karena telah banyak bermunculan tools generator untuk membuat neumorphism secara mudah. Walaupun dalam waktu mendatang neumorphism gagal untuk benar-benar diimplementasikan, kita semua tetap bisa mengambil pelajaran dan menjadi bagian dari fenomena ini.