Continue readingKetika anda mendownload aplikasi ataupun mendaftar disuatu website, mungkin anda sudah familiar atau tahu tentang website dan aplikasi tersebut. Tetapi bagi sebagian user, mungkin belum mengetahui bagaimana mereka harus menggunakan platform tersebut. Mereka membutuhkan panduan untuk bisa berselancar di website atau menggunakan aplikasi, disinilah peran onboarding.
Category: UX Design
Perbedaan Wireframe, Mockup dan Prototype
Continue readingWireframe, mockup dan prototype terkadang sulit dipahami banyak orang karena banyak yang menganggap ketiga hal ini mirip. Ketiga hal tersebut memang serupa tapi tidak sama. Wireframe, mockup dan protoype merupakan tahapan yang berbeda dalam desain. Berikut adalah pembahasannya.
Bikin UI di Android dengan Jetpack Compose
Jetpack Compose merupakan teknologi baru dari Google yang mempermudah Android Developer dalam membuat tampilan / UI aplikasi. jika sebelumnya kita bikin UI di Android menggunakan XML, di jetpack compose ini kita bikin UI langsung di kodingan Kotlin kita. pastinya hal ini mempercepat kita untuk bikin aplikasi android karena kita nggak perlu pindah-pindah tab lagi buat bikin UI karena sekarang bisa dikerjakan di 1 file saja.
Continue readingInfinite Scrolling
Ketika membuka Instagram, kita sebagai user akan asik melihat konten dengan menggulir/melakukan scrolling. Tanpa disadari, kita berada lebih lama diinstagram dan kita akan menemukan konten tanpa batasan. Inilah yang dinamakan infinite scrolling.
Tanpa kita sadari, infinite scroll membuat penelusuran konten dan informasi menjadi lebih mengasyikan, sebagaimana diungkapkan oleh NN Group.
Continue readingGuideline : #2 : membuat guideline
Artikel ini merupakan lanjutan dari artikel guideline.
artikel sebelumnya dapat anda baca disini
Sebelum membuat guideline, anda harus tahu apa saja yang isi guideline. mari kita bahas satu per satu.
Continue readingGuideline : #1 : sebagai Single Source of Truth
Artikel ini akan membahas mengenai UI Guideline yang akan dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :
- Guideline sebagai single source of truth
- Membuat guideline
Katakanlah anda akan membuat suatu interface pada satu platform, ada beberapa pertanyaan yang sering mucul seperti :
Ini color yang boleh digunakan apa saja?
Font nya apa, terus sizenya berapa ya?
Button cancel baiknya gimana ya?
segala jawaban pertanyaan diatas dapat anda temukan di guidelines.
Continue readingBerkenalan dengan “Tooltip”
Overview
Apa yang anda lakukan jika anda membeli mainan rakitan, tetapi di dalam box mainan tersebut tidak ada kertas petunjuk merakitnya? kemungkinan besar anda akan merasa “bingung” bagaimana cara merakit mainan tersebut. atau jika anda berusaha merakit mainan tersebut, kemungkinan anda hanya akan “meraba” bagaimana cara merakitnya dan apakah rakitan mainan itu benar atau tidak..
Melalui analogi diatas, saya dapat mengatakan tooltip seperti petunjuk arah untuk platform yang anda buat. User akan merasa ditinggal sendiri “dijalan platform yang anda buat” tanpa petunjuk arah. Dan ketika user memutuskan untuk tetap di platform itu, user anda akan bingung karena meraba atau kemungkinan terburuknya bisa jadi user memilih untuk berhenti menggunakan paltform dan mencari alternatif aplikasi yang lebih mudah dipahami.
Mari kita kenal lebih dalam mengenai apa itu tooltip, kasus penggunaannya dan tips membuat tooltip.
Continue readingJangan Buat User Berpikir
Artikel ini terinspirasi oleh buku Don’t Make Me Think karya Steve Krug. Buku ini menjelaskan bagaimana cara berpikir para UX Designer Experts dalam penjelasan yang simple dan mudah dipahami.
Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang sangat malas. Selama evolusi perkembangan manusia hingga pada masa modern ini, manusia akan tetap dan selalu akan menjadi malas jika mereka tidak memiliki motivasi tertentu. Tengoklah orang-orang yang bersemangat, maka Anda akan menemukan motivasi utama terbesar, salah satu contohnya yaitu UANG untuk memenuhi kebutuhan utama hidup mereka (sandang, pangan, papan).
Dari sini, kita sepakati bahwa manusia sejatinya adalah pemalas. Karakter kemalasan ini menjadi suatu problem yang menjadi dasar dari semua hal yang berhubungan dengan otomatisasi. Manusia suka akan hal-hal yang memudahkan mereka dalam mengerjakan sesuatu. Salah satu bidang keilmuan yang berusaha menjawab problem ini adalah bidang Human Centered Design. Berikut adalah beberapa tips dalam mendesign sistem berdasarkan Human Centered Design agar sistem Anda memudahkan user dan pada akhirnya akan diminati oleh user:
Continue readingMeningkatkan Kolaborasi antara Designer dan Developer
Latar Belakang Masalah
Beberapa waktu belakangan, kolaborasi designer – developer masih terasa individualistis. Contohnya bisa dilihat pada proses kerja mereka yang dimulai dari seorang designer (fase perancangan design hingga design selesai dalam bentuk mockup dan prototype), lalu design disimpan pada file lokal dan selanjutnya adalah tugas developer untuk melakukan review. Setelah mereview, barulah developer mengimplementasi design ke dalam bentuk kode. Apabila workflow semacam ini masih dilakukan, tentu berpeluang membuahkan hasil yang kurang optimal. Beberapa kekurangannya antara lain terjadinya miskomunikasi, tidak efektif dan efisien-nya kolaborasi, dan yang paling disayangkan adalah tidak beradaptasi menggunakan tools yang membantu kolaborasi antara designer – developer seperti XD, Figma, atau Sketch. Mengingat beberapa tools tersebut gratis.
Padahal hakikatnya designer dan developer adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan pada era saat ini. Keterikatan tersebut bisa dibina mulai dari tahap perancangan design hingga selesainya sebuah system atau aplikasi. Jadi mindset kita pada artikel kali ini adalah bagaimana membuat kolaborasi antara designer – developer menjadi satu kesatuan, bukan tim yang terpisah. Dalam implementasinya, memang ada hal-hal yang patut diperhatikan supaya job description kedua pihak tersebut tidak tumpang tindih. Jika tidak ada batasan yang jelas, aspek yang tumpang tindih bisa mengakibatkan developer berpikir sebagai designer dan begitupun sebaliknya. Pada artikel ini akan dibahas mengenai beberapa saran agar kolaborasi designer – developer bisa lebih optimal dan menjadi satu kesatuan namun dibatasi dengan batasan yang jelas.
Perbedaan Designer dan Developer
Sebenarnya designer dan developer memliki beberapa perbedaan yang jelas. Designer bisa diibaratkan sebagai arsitek dan developer adalah konstruktornya. Sehingga seorang designer harus melihat sesuatu secara menyeluruh. Sedangkan developer akan lebih nyaman untuk melakukan breakdown task menjadi beberapa langkah kecil dan membuat sesuatu secara cepat.
Ketika membicarakan perbedaan antara designer dan developer, maka kita juga perlu mengetahui proses berpikir mereka. Terdapat dua proses berpikir yang kita bahas disini yaitu empathize dan systemize. Kebanyakan developer berpikir secara systemize daripada empathize. Mereka mengandalkan logika di atas segalanya sehingga jarang kita dapati sisi emosional yang dominan seorang developer. Berbanding terbalik dengan developer, designer memiliki pola pikir empathize yang lebih mengandalkan perasaan dan emosi sehingga mentrigger kreatifitas pada otak kanan mereka.
Fokus dari kedua pihak pun berbeda, developer lebih berfokus kepada sistem sedangkan designer lebih berfokus ke end user. Kedua pihak tersebut harus berkomunikasi sedari awal fase perancangan dan mengenal satu sama lain sehingga bisa berkolaborasi secara terpadu. Ibarat otak manusia, ada otak kanan dan kiri. Inilah yang saya maksud dengan satu kesatuan karena manusia tidak akan bisa menjalankan hasrat hidupnya hanya menggunakan otak kiri saja atau otak kanan saja melainkan harus saling melengkapi, sama hal-nya dengan kesatuan designer – developer.
Bagaimana Caranya?
Key Discussion
Pertama-tama sebelum designer memulai fase perancangan design dengan tools XD, Figma, atau Sketch, bertanyalah kepada developer beberapa pertanyaan kunci.
Tools Apa yang Digunakan?
Tools seperti XD, Figma memiliki fitur yang memudahkan kolaborasi antara designer dengan developer. Ketika developer memilihi hak akses untuk melihat keseluruhan design beserta assetnya, maka designer bisa mengecek sedari awal kira-kira seperti apakah design yang akan diimplementasikan, memberikan komen, dan menyatukan persepsi antara designer dengan developer secara lebih mudah. Sehingga feedback bisa langsung diberikan oleh developer sebelum designer mengimplementasikannya lebih jauh.
Cobalah untuk mendiskusikan tools apa yang terbaik menyesuaikan dengan jenis project, preferensi tim, hingga preferensi perusahaan. Tools ini bisa disebut juga sebagai asset management yang memudahkan developer untuk mengakses sekaligus mengekspor assets pada layout yang telah di design oleh designer secara mandiri. Sehingga tidak ada lagi yang namanya developer meminta asset kepada designer. Semua sudah tersedia di satu tempat yang sama dan lebih terorganisir.
Apakah Framework / Library yang Digunakan?
Penting sekali untuk menanyakan hal ini karena designer bisa menyesuaikan asset, icon, komponen, hingga grid supaya sesuai dengan apa yang akan diimplementasikan developer dan tidak memiliki gap yang terlalu jauh. Menjadi tidak baik apabila designer mementingkan ego untuk memberikan design dengan kompleksitas yang tinggi dan tidak memungkinkan untuk didevelop. Contohnya ketika mendesign untuk aplikasi android, maka designer alangkah lebih baik untuk memahami komponen yang digunakan dalam material design. Sama hal-nya ketika web developer mendevelop web dengan bootstrap 4, mau tidak mau, designer juga harus menyesuaikan design dengan guideline yang ada di bootstrap.
Fase Design Seharusnya Tidak Pernah Selesai
Terdapat miskonsepsi yang umum terjadi bahwa ketika designer selesai melakukan tugasnya (mendesign screen keseluruhan mockup serta prototype-nya), maka mereka merasa bahwa kerja mereka telah selesai. Konsep seperti ini sering ditemukan pada projek bertipe waterfall, bahkan pada beberapa project agile sekalipun. Sebenarnya ketika designer selesai mendesign mockup atau prototype, pekerjaan designer baru selesai setengahnya. Karena ketika design sampai di tangan developer, fokus tidak lagi berpusat pada screen tetapi lebih spesifik ke fitur. Fitur dikembangkan behind the screen sehingga beberapa perubahan akan sering terjadi. Maka designer harus bisa stand by kapan saja apabila sewaktu-waktu ada developer yang membutuhkan bantuan designer untuk menyesuaikan design-nya kembali.
Perlu diingat bahwa kerja designer adalah menyeluruh. Pekerjaan designer tidak boleh terbatas pada visual yang mengandung nilai estetik saja. Namun juga mencakup bagaimana keseluruhan sistem bisa mudah digunakan oleh user. Maka dari itu, designer juga sedikit banyak ikut bertanggung jawab pada produk final yang telah diimplementasikan oleh developer.
Membuat Guideline yang Memudahkan Developer
Developer sangat dominan menggunakan otak kiri. Maka dari itu, ketika design sudah di depan mata, tidak semua developer bisa menerjemahkan visual design ke dalam bentuk code. Ada beberapa developer yang mengerti komposisi design dan nilai estetik, ada pula developer yang kurang memahaminya. Maka designer harus lebih aware dalam hal ini. Setiap fase design yang dilakukan, jangan lupa membuat guidance yang simple namun mencakup keseluruhan aspek design. Guideline itu bisa mencakup palet warna, ukuran margin padding, white space, typeface dan font size, dan lain-lain. Biasanya developer tidak memberikan feedback apapun setelah melihat design guideline dari kita. Mereka mengaku paham mengenai guideline namun pegakuan ini seringkali bertolak belakang dengan yang diharapkan designer. Maka dari itu, kedua pihak harus saling supportive dan terbuka mengenai persepsi mereka masing-masing.
Akses ke Code Base
Mungkin banyak developer tidak setuju dan mempertanyakan untuk apa memberikan akses code kepada designer? Namun hal ini ternyata efektif dan solutif untuk menjawab masalah yang timbul ketika kolaborasi antara designer dan developer tidak berjalan lancar. Pada satu titik, kolaborasi tim ini memungkinkan untuk terjadi bottleneck dan muncul rasa ketidakpercayaan satu sama lain. Namun ketika designer memiliki akses kode, terjadi perubahan drastis yaitu munculnya rasa supportive dan kepercayaan.
Terdapat pro dan kontra di komunitas designer maupun developer mengenai designer yang memiliki akses code. Tetapi realitanya, sangat susah untuk mendapatkan chemistry untuk kolaborasi ketika ada tembok raksasa, tidak terlihat, dan hanya bisa di akses oleh satu pihak saja. Sehingga muncul istilah baru yang mengkombinasikan design dengan programming, yaitu fullstack design.
Ketika seorang designer dipercaya untuk mengakses kode program, berarti designer tersebut sudah memenuhi kriteria sebagai fullstack designer. Seorang fullstack designer harus memiliki pengetahuan dasar tentang git, git hub, dan penullisan kode khususnya di bagian client side.
Kembali lagi pada pokok permasalahan yaitu harus ada batasan pembagian jobdesc serta peraturan yang disetujui antara developer – designer supaya pekerjaan tidak tumpang tindih atau malah simpang siur karena cara ini bukanlah best practice yang bisa diimplementasikan pada mayoritas perusahaan.
Mempelajari “Bahasa” Satu Sama Lain
Jika penjelasan sebelumnya lebih spesifik ke fullstack design, pembahasan kali ini akan mencakup developer – designer secara umum. Mempelajari “bahasa” satu sama lain bukan berarti designer harus bisa menulis kode atau developer harus bisa mendesign sesuatu. Yang dimaksud “bahasa” disini adalah istilah yang berkenaan dengan bidang ilmu masing masing. Kenapa harus mengerti “bahasa” satu sama lain? Karena ada istilah-istilah yang tidak mungkin diperjelas secara panjang lebar dan diterjemahkan menjadi bahasa orang awam karena kemungkinan besar justru mengakibatkan salah persepsi. Katakanlah seorang developer menanyakan “Kenapa fontsize-nya berubah-ubah?” Maka designer bisa menjawab “Karena dengan penggunaan fontsize dan weight yang berbeda, bisa membuat visual hierarchy yang baik sehingga meningkatkan usability”. Jika developer mengerti istilah yang dimaksud designer begitupun sebaliknya, akan sangat menguntungkan kedua pihak dari segi apapun.
Kesimpulan
Tidak ada cara yang selalu cocok dengan kondisi kolaborasi apapun. Hal itu kembali lagi dengan karakteristik masing-masing tim. Ketika satu sama lain saling memahami kebutuhan dan kondisi, barulah bisa mengaplikasikan beberapa cara yang disarankan di atas. Saran dari saya sendiri, mulailah pilih salah satu cara di atas, dan aplikasikan sesuai dengan kondisi kolaborasi tim. Jika memungkinkan, temukan beberapa orang dalam tim yang memiliki visi serupa untuk mewujudkan lingkungan kerja yang kolaboratif antara designer –developer. Buatlah tim kecil, berdiskusi sambil minum kopi dengan membahas mengenai apa yang harus dan tidak dilakukan demi kolaborasi yang lebih baik. Pada akhirnya, catat progress dari cara yang sudah disepakati sehingga Anda dan tim bisa mengukur dan melihat dengan harapan bahwa cara tersebut membawa dampak baik dan tidak lupa untuk terus mengevaluasinya.
Referensi
Fenomena Trend Design Neumorphism dan Bagaimana Cara Membuatnya
Sejarah Terciptanya Neumorphism
Saat ini, Neumorphism menjadi style design yang digandrungi oleh komunitas designer dan banyak ditemukan pada Dribbble, Behance, Instagram dan forum-forum lain. Neumorphism merupakan turunan dari skeumorphism. Untuk lebih mudah membedakannya, skeumorphism merupakan istilah yang digunakan pada user interface untuk membuat suatu komponen layaknya komponen real di dunia nyata. Salah satu contoh pengaplikasian skeumorphism adalah pada icon shortcut recycle bin di OS windows. Skeumorphism pertama diimplementasi pada era awal smartphone touchscreen yang diperkenalkan oleh Apple iOS. iOS sangat mengerti bahwa dengan mengaplikasikan skeumorphism, user yang awal mulnya tidak paham bagaimana cara kerja touchscreen, bisa beradaptasi lebih cepat. Contohnya button dengan efek glossy, foto dengan border putih seperti foto real di dunia nyata, dan masih banyak lagi. Design ini lalu dengan cepat menyebar sehingga tidak luput diaplikasikan pada platform lain.
Untuk saat ini, sudah sangat jarang ditemukan design dengan style skeumorphism karena hampir seluruh manusia di dunia sudah mengenal media digital mulai dari smartphone hingga desktop. Maka, penggunaan skeumorphism yang terlalu banyak detail, akan menjadi useless karena user sudah bisa menginterpretasikan suatu komponen dengan cepat meskipun tidak menyerupai komponen di dunia nyata. Ketika mendekati perilisan iOS7, Apple mengumumkan bahwa mereka akan meninggalkan style tradisional (Skeumorphism) dan beralih ke style yang lebih simple yaitu flat design. Saat ini, hampir semua platform mengimplementasi flat design. Namun dalam beberapa waku belakangan (2018-2019), flat design murni juga sepertinya mengalami dark period seiring berumunculan flat design yang dikembangkan dengan gaya flat illustratif.
Reinkarnasi Yang Bangkit
Neumorphism lahir dari hasil kombinasi antara skeumorphism dengan flat design. Sehingga menghasilkan design yang 3D, bertekstur namun tetap soft dan simple. Output seperti itu bisa dihasilkan dengan racikan yang tepat atas bentuk, gradien, warna background, highlights, dan permainan shadow. Secara kasat mata, mungkin Anda berpikir bahwa Anda memerlukan aplikasi 3D rendering. Tetapi sebenarnya Anda hanya perlu aplikasi design standar yang biasa Anda gunakan seperti XD, Figma, Sketch dan sejenisnya dengan sedikit sentuhan “magis” dalam pembuatannya.
Anda bisa melihat panduan di bawah untuk membuat design neumorphism.
Mendesign Style Neumorphism
Panduan untuk Designer
Pada panduan kali ini, saya memberikan contoh bagaimana membuat design neumorphism secara simple menggunakan Adobe XD.
Popping Up
Disini, Anda akan membuat efek timbul neumorphism. Pertama-tama, Anda harus memilih warna yang smooth (biasanya saturasi rendah). Lalu implementasikan warna tersebut di artboard anda.
Setelah itu, buat square shape dengan ukuran bebas. Dalam contoh saya, saya menggunakan ukuran 100px X 100px. Set warna menyamakan dengan warna background. Lalu berilah efek black shadow dengan X=6, Y=6, B=10 dan opacity 20%. Anda bisa mengatur shadow sesuai dengan preferensi Anda.
Buat lagi square shape dengan ukuran yang sama, namun berilah efek white shadow dengan X=-6, Y=-6, B=10 dan opacity 80%.
Gabungkan kedua square secara tumpang tindih. Berikut adalah hasilnya.
Popping Down
Disini, Anda akan membuat efek rongga (ketika di tekan) neumorphism. Pertama-tama, buat square bernama layer “dark” dengan ukuran yang sama seperti cara sebelumnya. Set fill color transparent, border black, object blur seperti gambar di bawah.
Buat square ke-dua bernama layer “light” dengan ukuran yang sama. Set fill color transparent, border white, object blur seperti gambar di bawah.
Lalu buat square ke-tiga bernama layer “mask” dengan ukuran yang sama. Set atribut fill color transparent dan border dengan warna mencolok.
Lalu posisikan ketiga square tersebut secara tumpang tindih dengan susunan layer dari atas ke bawah: mask – light – dark.
Ubah ukuran square dark menjadi 120px X 120px dan geser beberapa pixel ke kanan dan ke bawah. Ubah pula ukuran square light menjadi 120px X 120px dan geser beberapa pixel ke kiri dan ke atas. Usahakan efek blur dari kedua square tersebut masih tercakup di dalam square mask.
Langkah terakhir, select ketiga object tersebut, klik kanan > Mask With Shape. Dan jadilah efek rongga (popping down) neumorphism.
Implementasi Neumorphism
Setiap design memiliki sisi baik dan buruknya. Sisi baiknya, neumorphism bisa memberi nuansa yang baru, fresh, dan terasa unik. Ketika dilihat oleh mata, membuat siapapun usernya ingin untuk memainkan komponen yang ada (termasuk saya) sehingga unsur gamification secara tidak langsung bisa dirasakan. Yang jadi pertanyaan adalah, mengapa saat ini kita masih belum melihat aktivitas masif implementasi neumorphism ini pada produk real? Meskipun neumorphism membawa efek visual yang bagus, ternyata mengandung kelemahan yang krusial yaitu usability.
Usability yang diusung oleh neumorphism sangat bergantung pada niche tertentu. Margin warna yang sangat kecil dan kontras membuat neumorphisme bekerja dengan tingkat saturasi yang rendah. Ditambah juga terlalu banyak shadow dan textur membuatnya tidak cocok untuk aplikasi yang tergolong kompleks. Sehingga ketika diaplikasikan pada contohnya, aplikasi bisnis, mengharuskan nuansa formal dan neumorphism gagal diimplementasi. Sepertinya neumorphisme hanya cocok untuk beberapa aplikasi yang memiliki idealisme yang berhubungan dengan kreatifitas, out of the box, dan simplicity.
Beberapa Issue
Button (tombol) adalah salah satu komponen terpenting dalam user interface. Tanpa adanya button, user akan kesulitan untuk melakukan aksi trigger aktivitas dalam aplikasi. Maka dari itu, suatu button harus terlihat mencolok dan mengandung sedikiti interaksi untuk memberitahu user perubahan status dari suatu button. Meskipun hanya sepersekian detik, perubahan status dan warna sangat krusial karena bersifat komunikatif kepada user. Ketika button menggunakan style neumorphisme, sulit untuk memberi perubahan status pada button karena terhalang dengan margin tipis dalam efek bayangan. Beberapa designer mencoba menjawab permasalahan dengan tetap memberikan style neumorphism hanya pada cards namun mengunakan tombol classic tanpa sentuhan neumorphism.
Hal ini berlaku pula dengan prinsip CTA (Call to action). Sebagaimana diketahui, bahwa CTA harus mengandung warna yang mencolok sehingga mempersuasi user untuk menekan button tersebut. Dengan neumorphism, lagi-lagi ada batasan warna sehingga user tidak bisa menemukan CTA dengan mudah.
Issue berikutnya berhubugan dengan aksesibilitas. Melanjutkan perihal implementasi neumorphism yang bergantung dengan niche, neumorphism menyulitkan beberapa pengguna yang memiliki gangguan penglihatan khsusunya pada beberapa orang dewasa dan telah berumur. Neumorphisme adalah tentang UI yang lembut tetapi jika digunakan secara berlebihan, membuat user mudah untuk terdistraksi. Ditambah lagi apabila user menggunakan layar kualitas rendah sehingga menghilangkan detail dari neumorphism itu sendiri.
Kesimpulan
Komunitas pada Dribbble, instagram, medium, hingga reddit, beberapa menganggap bahwa neumorphism adalah pengganti flat design. Hal tersebut tidak sepenuhnya benar, karena lebih tepatnya adalah design yang bersifat tambahan saja. Sama seperti halnya trend gradient yang terjadi beberapa waktu belakangan. Banyak yang bereaksi dan menggadang-gadang bahwa gradient akan menggantikan flat design. Katika gradient diimplementasi sedemikian rupa dan diterapkan untuk mengcover seluruh layar, ternyata hasilnya sangat buruk. Pada akhirnya, gradient hanya sebagai pelengkap dan perfectly fits pada UI design yang spesifik pada beberapa komponen saja.
Gelombang neumorphism untuk saat ini masih fase permulaan. Komunitas designer terus bereksperimen untuk menghasilkan neumorphism yang benar-benar bisa cocok diaplikasikan pada real produk. Sebagai designer, Anda bisa ikut berkontribusi melakukan eksperimen. Sebagai non designer khususnya developer, tetap ikuti dan amati trend neumorphism ini karena telah banyak bermunculan tools generator untuk membuat neumorphism secara mudah. Walaupun dalam waktu mendatang neumorphism gagal untuk benar-benar diimplementasikan, kita semua tetap bisa mengambil pelajaran dan menjadi bagian dari fenomena ini.